Laman

Jumat, 16 Maret 2012

Spirit of Father

Kekuatan seorang Ayah

Setahun yang lalu dua orang anak usia empat tahun masuk Taman Kanak-kanak. Mereka berada di kelas yang sama. Mereka memiliki kesamaan, sama-sama pendiam. Mereka begitu rendah diri. Dari cara memegang pensil, gunting tampak mereka tidak percaya diri. Mereka bukan tidak bisa mewarnai dengan rapi, bahkan mereka tidak berani mencoret-coret kertas kerja seperti yang sering dilakukan anak-anak lain.

SO masuk halaman sekolah diantar ayahnya. Sebelum lonceng berbunyi, SO akan memegangi ayahnya. Ia memeluk ayah, tidak mau bermain dengan teman-temannya. Sementara semua temannya berlari-lari, bermain di playground, ada juga yang duduk-duduk bersama teman-teman. Begitu juga dengan NV. NV memasuki halaman sekolah sendiri kemudian dia akan duduk di pojok halaman.

Terhadap kedua anak ini saya memberikan semangat dan dorongan. Dengan cara yang khusus, saya mendorong mereka untuk berani. Setiap hari dengan cara bercanda, saya memaksa mereka tersenyum. Ketika mereka ditanya, maka mereka menjawab dengan anggukan kepala atau berbisik. Saya akan mengulang pertanyaan sampai mereka menjawab dengan suara yang terdengar.

SO bersembunyi dibalik kaki ayah karena takut pada saya. Saya membiarkannya, tidak mengodainnya seperti biasa. Tapi suatu hari ketika SO menunggu bel masuk kelas, ia memeluk ayah dengan erat. Tanpa ia sadari, saya langsung menangkapnya, menggendongnya tinggi-tinggi. Di depan ayahnya saya berkata : “Ayo, ini sekolah. Nggak usah sama papa lagi. Kalau di sekolah sama ms. R aja.” SO tertawa, saya senang dengan reaksi tersebut. Ketika saya lepaskan ia lari menuju papanya yang tersenyum melihat kejadian tersebut. Keesokan harinya, saya sedang berbincang-bincang dengan orang tua murid. Dengan sudut pandang mata, saya melihat SO memandang kearah saya dengan wajah agak takut. Papa SO membungkuk dan memegang pundaknya sambil menunjuk kearah saya. Papa SO berkata : “itu Ms.R, ayo kamu beri salam”. SO tampak ragu. Papa nya menepuk bahunya sambil berkata : “ayo nak, beri salam!” SO lari kearah saya dan memberi salam. Walau saya sedang berbincang-bincang, saya menyempatkan diri menyambut salamnya. Seorang ayah telah membantu saya sebagai guru untuk menanamkan kepercayaan diri pada seorang anak kecil pemiliki masa depan.

Bagaimana dengan NV ? sampai saat ini saya masih berjuang untuk menanamkan harga diri padanya. Kemajuannya lambat, saya menyadari karena NV sudah tidak punya seorang ayah. Seorang ayah yang mendukungnya. Betapa sulitnya meningkatkan harga diri seorang anak yang tidak pernah dipuji atau didukung ayahnya.

Dari pengalaman saya sebagai seorang guru, anak-anak yang didukung orang tua terutama ayah akan tumbuh lebih sehat dibandingkan dengan anak tanpa kehadiran ayah. Maka saya menghadirkan guru pria di sekolah yang saya pimpin. Harapan saya agar figure ayah akan hadir bagi anak-anak didik saya, terutama bagi mereka yang tidak punya ayah.

Salam

Ms. R

Statistik membuktikan bahwa orang-orang yang kehilangan kasih sayang dari ayahnya, akan

tumbuh dengan kelainan prilaku, kecenderungan bunuh diri, dan menjadi criminal yang kejam. Sekitar 70% dari penghuni penjara dengan hukuman seumur hidup adalah orang-orang yang bertumbuh tanpa ayah.

Para ayah,

Anda dirindukan dan dibutuhkan oleh anak-anak Anda. Jangan habiskan seluruh energy dan pikiran di tempat kerja, sehingga waktu tiba di rumah para ayah hanya memberikan “sisa-sisa” energy dan duduk menonton TV.

Peluk anak-anak Anda, dengarkan cerita mereka , ajarkan kebenaran dan moral. Dan Anda tidak akan menyesal, karena anak-anak Anda akan hidup sesuai jalan yang Anda ajarkan dan persiapkan.

Ayah yang sukses bukanlah pria paling kaya atau paling tinggi jabatannya di perusahaan atau lembaga pemerintahan, tetapi seorang pria yang anaknya berkata :”Aku mau menjadi seperti ayah” atau “ Aku mau seorang suami yang seperti ayah.” Seorang ayah lebih berharga daripada 100 orang guru di sekolah. (George Herbert)

share from Ms Tinny

dedicated : Mr. Anthony dan Mr. Handy,

thanks ya…. Atas kesediaannya mendidik di TK KALAM KUDUS TKI

Selasa, 12 Oktober 2010

EducationCare: Pendidikan karakter

EducationCare: Pendidikan karakter

educare

Pendidikan karakter

PENDIDIKAN KARAKTER USIA DINI

Kita sering mendengar ungkapan “ susah mencari orang jujur pada jaman sekarang”. Kita banyak mendengar kabar tentang korupsi, tawuran antara pelajar, orang yang tidak bertanggungjawab, kenakalan remaja, seks bebas. Sebenarnya apa yang salah dengan manusia jaman sekarang. Orang-orang yang berkualitas secara akademis tapi tidak memiliki moral. Pada masa ini kita harus mengakui bahwa karakter manusia mulai menurun kualitasnya. Bukan hal yang baru, pada saat ini meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas. Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, menurunnya etos kerja, semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, membudayanya ketidakjujuran, dan adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.

Menurut pengamatan saya sebagai pendidik, sistem pendidikan yang ada sekarang ini terlalu berorientasi pada pengembangan otak kiri (kognitif) dan kurang memperhatikan pengembangan otak kanan (afektif, empati, dan rasa). Padahal, pengembangan karakter lebih berkaitan dengan optimalisasi fungsi otak kanan. Mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan akhlak dan karakter pun (seperti budi pekerti dan agama) ternyata pada prakteknya lebih menekankan pada aspek otak kiri (hafalan, atau hanya sekedar “tahu”).

Dalam buku Seni membentuk Karakter Kristen, DR. Stephen Tong mengatakan.... Sekolah-sekolah sudah tidak lagi mementingkan pendidikan karakter. Yang dipentingkan hanyalah pengetahuan akademik dan gelar. Bagi saya, pendidikan akademik yang tidak diimbangi oleh pendidikan karakter, bukanlah pendidikan. Jikalau seseorang pandai dalam membuat makalah tetapi tidak jujur, saya rasa jika ia lulus seharusnya merasa malu. (2008:54).

Dengan keadaan seperti sekarang ini, seharusnya kita lebih menyadari bahwa tujuan pendidikan Kristen adalah pendidikan karakter kristiani berdasarkan Alkitab. Pengembangan karakter yang terbaik adalah jika dimulai sejak usia dini. Masa yang paling efektif untuk membentuk karakter anak adalah pada usia dini. Diharapkan pembentukan karakter pada periode ini akan memiliki dampak yang akan bertahan lama terhadap pembentukan moral anak. Ketika seseorang masih kanak-kanak, ia memiliki kemungkinan yang sangat besar untuk kita bentuk. Mereka sangat cepat untuk meniru orang lain, khususnya orang-orang yang mereka kagumi. Jikalau seorang anak menemukan orang yang sama seperti orang yang dikagumi itu. Tong, 2008:37.

Bagaimana kita seharusnya merumuskan peranan pendidikan Kristen dalam membangun karakter anak usia dini, sehingga menghasilkan orang-orang yang memiliki karakter kristen. Menurut saya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan pendidikan karakter usia dini, yaitu :

1. Keadaan psikologi anak usia dini.

2. Penyebab terjadinya anak-anak berkarakter buruk.

3. Pendidikan karakter yang dibutuhkan anak usia dini.

4. Peranan pendidikan agama Kristen dalam pembentukan karakter anak usia dini.

Karakter seseorang harus dibangun pada usia dini. Kebenaran Firman Tuhan adalah satu-satunya pembentuk karakter yang sempurna.

Dengan demikian peranan pendidikan agama Kristen dalam pembentukan karakter anak pada usia dini adalah sangat penting. Peranan pendidikan agama Kristen yang diharapkan akan menjadi standar yang tepat bagi pendidikan karakter anak usia dini.

Minggu, 11 April 2010

Guru Sebagai Kaum Intelektual

Zaman sekarang para guru dapat memahami adanya banyak perbedaan antara generasi sekarang dan generasi sebelumnya. Saat ini, tantangan dalam dunia pendidikan sangat besar. Profesi guru menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat, dan pengaruh globalisasi. Diharapkan guru dapat mengerti situasi sekarang ini dan menjadi guru yang mampu menunjukkan intelektualitasnya. Dengan demikian diharapkan para murid berhasil mengembangkan potensinya dan hidup benar di masyarakat.
Tantangan yang besar ini akan mudah dihadapi oleh para guru yang memiliki panggilan hidup sebagai guru. Tidak mudah menghadapi sifat setiap murid, apalagi dengan pengaruh globalisasi. Bagi guru yang terpanggil, kesulitan atau tantangan dalam dunia pendidikan akan membuatnya lebih bergairah untuk mengajar.
Profesi guru adalah pengajar, maka dalam profesi ini selalu dituntut keteladanan. Pendidikan yang dilaksanakan para guru adalah sesuatu yang sangat penting, karena itu berdampak besar pada anak didik. Tugas guru pada zaman sekarang adalah menjadi fasilitator dan moderator. Hubungan guru dan siswa menjadi hubungan dialogis, saling membantu dan saling belajar. Guru bukan saja pengajar tapi guru belajar bersama murid. Para murid dengan bimbingan guru akan menemukan sendiri nilai-nilai yang akan dipegangnya. Dibawah bimbingan guru, murid akan mampu bertanggungjawab atas nilai yang dipilihnya. Guru menghargai dan menerima setiap siswa untuk membantunya berkembang secara sama, tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lainnya.
Pada era globalisasi ini banyak pengaruh negatif yang mempengaruhi siswa. Di luar sekolah tidak banyak teladan yang baik yang didapat siswa. Bahkan di masyarakat banyak hal yang bertentangan dengan teori-teori yang diajarkan di sekolah. Guru merupakan harapan untuk memberi teladan dalam nilai-nilai yang baik. Sekalipun guru adalah manusia biasa, guru dituntut menjadi teladan yang baik. Paling tidak konsekuen dengan yang diajarkan dan menerima diri apa adanya. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya guru dapat terus berkembang dalam menjadi teladan. Guru juga dituntut memiliki kemampuan pribadi, yaitu moral dan iman, sikap bertanggungjawab, kemampuan berkomunikasi, kedisiplinan dan sikap mau belajar terus.
Guru sehebat apapun tidak akan mampu hidup sendiri. Dalam menjalankan tugasnya guru harus bekerja sama dengan orang lain. Guru harus membangun relasi dengan siswanya, rekan kerja, atasannya, karyawan sekolah, orangtua murid bahkan dengan masyarakat sekitar sekolah. Relasi ini harus dibangun atas dasar keterbukaan dan kerjasama, sehingga guru memiliki ruang untuk berpendapat dan mengerti pendapat orang lain. Unsur-unsur relasi ini memjadi satu tim dalam memajukan anak didik.
Sosok guru kelihatan sebagai orang yang sederhana. Namun dalam melaksanakan tugasnya tidaklah sederhana, bahkan sangat berat. Tidak ada tugas seberat menjadi guru. Guru harus jadi teladan, konsekuen dengan yang diajarkannya. Tuntut menjadi seorang guru tidaklah mudah, apalagi menghadapi zaman sekarang dengan perubahannya. Sosok guru seringkali dituntut sempurna namun terkadang sekaligus dianggap rendah. Guru sering harus memperjuangkan nasibnya sendiri.
Sebagai kaum intelektual, guru harus mampu mengikut perkembangan zaman. Dengan mengikuti perkembangan zaman ini, guru bukan saja mampu menyesuaikan diri tapi guru seharusnya ikut mengadakan perubahan tersebut. Orang-orang yang yang sukses di zaman ini bukan saja orang yang mampu menghadapi perubahan tapi juga orang yang mampu membuat perubahan. Guru pada zaman ini harus mampu merubah suasana dan keadaan, karena ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang. Informasi yang cepat dan keadaan yang cepat berubah. Oleh sebab itu, diharapkan guru mengembangkan sikap-sikap seorang intelektual diantaranya : terus belajar, berpikir kritis, bebas, rasional, mengembangkan angan-angan, aktif mencari, berani bertindak, bertanggung jawab dan menjadi agen perubahan. Dengan demikian guru mampu membawa siswanya ke arah masa depan yang lebih maju.

Jumat, 05 Maret 2010

Pendidkan (sebuah tinjauan buku)

Guru Demokratis di Era Reformasi
(Paul Suparno)


Garis Besar

Setelah saya membaca buku yang berjudul Guru Demokratis di Era Reformasi, saya menemukan beberapa gagasan penulis. Berikut saya kemukakan gagasan penulis secara keseluruhan. Penulis memaparkan agar para guru dapat memahami adanya banyak perbedaan antara generasi sekarang dan generasi sebelumnya. Di era demokrasi ini, tantangan dalam dunia pendidikan sangat besar. Profesi guru menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat, dan pengaruh globalisasi. Para guru perlu memahami dan melaksanakan filsafat konstruktivisme, keteladanan, model pendidikan holistik ,dan sikap kritis dari para guru sebagai kaum intektual. Diharapkan guru dapat mengerti situasi sekarang ini dan menjadi guru yang demokratis Dengan demikian diharapkan para murid berhasil mengembangkan potensinya dan hidup berdemokrasi di masyarakat..
Tantangan jaman sekarang ini sangat besar bagi perkembangan anak-anak. Tantangan yang besar ini akan mudah dihadapi oleh para guru yang memiliki panggilan hidup sebagai guru. Tidak mudah menghadapi sifat setiap murid. Apalagi dengan pengaruh globalisasi. Bagi guru yang terpanggil, kesulitan atau tantangan dalam dunia pendidikan akan membuatnya lebih bergairah untuk mengajar.
Karena profesi guru adalah pengajar, maka dalam profesi ini selalu dituntut keteladanan. Bila kita berbicara tentang era demokrasi, maka tentunya diharapkan guru mampu menjadi teladan dalam melaksanakan demokrasi. Pendidikan yang dilaksanakan para guru adalah sesuatu yang sangat penting, karena itu berdampak besar pada anak didik.
Tugas guru pada era demokrasi ini, menurut filsafat konstruktivisme adalah menjadi fasilitator dan moderator. Hubungan guru dan siswa menjadi hubungan dialogis, saling membantu dan saling belajar. (hlm 33). Guru bukan saja pengajar tapi guru belajar bersama murid. Para murid dengan bimbingan guru akan menemukan sendiri nilai-nilai yang akan dipegangnya. Dibawah bimbingan guru, murid akan mampu bertanggungjawab atas nilai yang dipilihnya. Guru menghargai dan menerima setiap siswa untuk membantunya berkembang secara sama, tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lainnya.
Pada era globalisasi ini banyak pengaruh negatif yang mempengaruhi siswa. Di luar sekolah tidak banyak teladan yang baik yang didapat siswa. Bahkan di masyarakat banyak hal yang bertentangan dengan teori-teori yang diajarkan di sekolah. Guru merupakan harapan untuk memberi teladan dalam nilai-nilai yang baik. Sekalipun guru adalah manusia biasa, guru dituntut menjadi teladan yang baik. Paling tidak konsekuen dengan yang diajarkan dan menerima diri apa adanya. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya guru dapat terus berkembang dalam menjadi teladan. Guru juga dituntut memiliki kemampuan pribadi, yaitu moral dan iman, sikap bertanggungjawab, kemampuan berkomunikasi, kedisiplinan dan sikap mau belajar terus.
Dalam buku ini, Paul Suparno memberikan semangat dengan mengembangkan sikap-sikap agar para guru tetap dapat menjalankan tugasnya. Pertama, sikap cinta kepada siswa. Mencintai anak didik seperti orang tua mencintai anaknya sendiri. Kedua, sikap menghargai nilai kemanusiaan lebih dari aturan formal. Ketiga, sikap membebaskan dan bukan membelenggu.
Guru adalah manusia biasa. Manusia adalah makhluk sosial. Oleh sebab itu
guru yang sehebat apapun tidak akan mampu hidup sendiri. Dalam menjalankan tugasnya guru harus bekerja sama dengan orang lain. Guru harus membangun relasi dengan siswanya, rekan kerja, atasannya, karyawan sekolah, orangtua murid bahkan dengan masyarakat sekitar sekolah. Relasi ini harus dibangun atas dasar keterbukaan dan kerjasama, sehingga guru memiliki ruang untuk berpendapat dan mengerti pendapat orang lain. Unsur-unsur relasi ini memjadi satu tim dalam memajukan anak didik.


Profesi guru yang diharapkan menjadi teladan, akan mampu mengayomi
masyarakat. Guru dapat menjadi penengah, moderator, fasilitator. Bila terjadi konflik dalam masyarakat di masyarakatnya; guru dapat dimintai nasehat. Terutama tentang pendidikan anak, tentang kemajuan teknologi yang ada. Guru harus mau membaur dengan masyarakat. Dengan demikian akan mampu berrelasi dengan masyarakat. Agar guru dapat membantu anak didiknya nanti terlibat dengan masyarakat secara aktif dan kreatif. Jadi guru sendiri perlu belajar dari masyarakat. Guru dapat belajar dari masyarakat tentang nilai-nilai dan pengulatan yang ada dalam masyarakat, juga dari keadaan masyarakat yang belum baik.
Mengenai kesejahteraan guru, Paul Suparno mengangkat aturan yang ada dalam Undang-Undang Guru dan Dosen. Semua masih merupakan harapan akan kesejahteraan guru. Semuanya masih diusahakan. Pada prakteknya tugas dan tuntutan guru sangat berat, tidak dapat dibandingkan dengan kesejahteraan yang diterima.

Empat Pokok Bahasan

1. Guru sebagai panggilan hidup

Menurut saya modal dasar menjadi guru adalah panggilan hidup. Tanpa panggilan hidup seseorang tidak akan tahan atau tidak akan berkembang menjadi guru yang baik. Dalam banyak pengalaman guru, bila mereka dapat menghayati tugas mereka sebagai suatu panggilan hidup, mereka biasanya lebih gembira, tekun, dan dedikasi terhadap tugasnya membantu siswa berkembang. (hlm 9). Bagi guru yang terpanggil kesulitan atau tantangan dalam dunia pendidikan akan membuatnya lebih bergairah untuk mengajar. Arti panggilan hidup seorang guru adalah dengan membantu anak-anak berkembang dalam semua aspek kehidupan. Hal ini akan membuat seorang guru merasa hidupnya berarti, semakin mengalami kepuasan batin dan menemukan identitas dirinya (13).
Rasa tangungjawab dan dedikasi akan semakin besar ketika seorang guru yakin bahwa panggilannya menjadi guru merupakan panggilan Tuhan. Unsur pelayanan dalam dunia pendidikan akan membuatnya bahagia. Seorang guru sejati akan bahagia bila melihat anak-anak didiknya mengalami kemajuan tanpa mengingat imbalan materi yang minim. Keberhasilan muridnya merupakan kekayaan yang tak ternilai. Ia akan bangga dan puas. Bagi para guru, seharusnya kita bangga dengan apa yang Tuhan percayakan pada kita.

2. Guru yang demokratis

Profesi guru bertugas sebagai pengajar. Dalam profesi ini selalu dituntut keteladan. Bila kita berbicara tentang era demokrasi, maka tentunya diharapkan guru mampu menjadi teladan dalam melaksanalan demokrasi. Pendidikan yang dilaksanakan para guru adalah sesuatu yang sangat penting, karena itu berdampak besar pada anak didik.
Dalam dunia pendidikan, guru merupakan ujung tombak. Guru harus menjadi teladan untuk melaksanakan demokrasi. Pada era ini guru tidak dapat bersikap otoriter seperti dulu. Siswa tidak dianggap sebagai orang yang tidak tahu apa-apa dan harus diajari. Pada saat ini siswa itu dianggap sudah tahu sesuatu dan perlu pengarahan guru. Tugas guru menurut filsafat konstruktivisme adalah menjadi fasilitator dan moderator. Hubungan guru dan siswa menjadi hubungan dialogis, saling membantu dan saling belajar. (hlm 33).
Guru bukan saja pengajar tapi guru belajar bersama murid. Para murid dengan bimbingan guru akan menemukan sendiri nilai-nilai yang akan dipegangnya. Dibawah bimbingan guru, murid akan mampu bertanggungjawab atas nilai yang dipilihnya. Di era demokrasi ini guru menghargai dan menerima setiap siswa untuk membantunya berkembang secara sama, tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lainnya. Seorang murid yang dianggap kurang dapat meningkat prestasinya ketika ia tahu bahwa ia diterima dan dihargai gurunya. Saya ingin berbagi dengan rekan-rekan guru yang mungkin sudah sangat suntuk dalam rutinitas mengajar. Pengalaman saya adalah betapa bahagianya saya ketika saya didatangi murid-murid saya. Mereka bercerita dengan akrabnya. Betapa bahagianya saya ketika murid saya percaya pada saya untuk mengemukakan keluhan mereka. Tentu saja kebahagiaan saya menjadi penuh ketika melalui diskusi kecil masalah mereka dapat diselesaikan. Padahal saya hanya menjadi moderator tidak banyak mengajari mereka. Anak-anak didik saya dalam masa remaja awal dimana potensi mereka sangat besar. Menyenangkan sekali dapat mengali potensi mereka, membuka mata mereka bahwa mereka adalah orang-orang yang hebat.

3. Kompetensi guru

Guru haruslah memiliki kemampuan pribadi, yaitu moral dan iman, sikap bertanggungjawab, kemampuan berkomunikasi, kedisiplinan dan sikap mau belajar terus. Terutama sekali bidang studi yang digelutinya dan kaitannya dengan masyarakat dan ilmu lainnya. Guru yang baik di jaman ini perlu punya wawasan yang luas baik tentang bidang yang diajarkan, kegunaan ilmu itu, dan juga bagaimana perkembangannya dalam masyarakat. (hlm 52). Kompetensi guru dapat berkembang, ketika guru mengadakan komunikasi dengan siswa, kerjasama yang baik dengan rekan guru, belajar melalui pendidikan formal ataupun informal, membaca buku atau surat kabar, dan memanfaatkan perpustakaan untuk penelitian dan pengajaran.

4. Guru sebagai teladan kehidupan

Pada era globalisasi ini banyak pengaruh negatif yang menpengaruhi siswa. Di luar sekolah tidak banyak teladan yang baik yang didapat siswa. Bahkan di masyarakat banyak hal yang bertentangan dengan teori-teori yang diajarkan di sekolah. Guru merupakan harapan untuk memberi teladan dalam nilai-nilai yang baik. Sekalipun guru adalah manusia biasa, guru dituntut menjadi teladan yang baik. Paling tidak konsekuen dengan yang diajarkan dan menerima diri apa adanya. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya guru dapat terus berkembang dalam menjadi teladan.
Karena guru bukanlah manusia yang super. Ia bisa saja gagal dalam memberi teladan. Gurupun diharapkan berani sharing tentang penghayatan mereka sendiri akan suatu nilai secara terbuka kepada siswa. (hlm 70). Keterbukaan ini akan meringan beban guru, dimana akan timbul saling pengertian dengan siswa. Gurupun akan menjalankan tanggung jawab tanpa rasa beban berat.
Seorang guru harus memberani berkata “maaf, kalau saya salah karena saya juga adalah manusia”. Apakah dalam profesi lain kalimat itu merupakan suatu kewajiban untuk diucapkan. Menurut saya bila profesi lain melakukan kesalahan maka masyarakat akan maklum karena itulah manusia. Tidak mudah bagi masyarakat untuk menerima kesalahan seorang guru. Sehingga dengan kalimat itu, guru pun harus menyadarkan masyarakat bahwa guru adalah manusia biasa. Itulah resiko guru.
Dengan tantangan yang berat tidak mudah bagi seseorang mampu menjadi guru yang baik, apalagi berhasil. Ada beberapa kekuatan bagi seseorang dapat menjadi seorang guru sejati dan menjadikan guru sebagai profesi dalam hidupnya. Buku ini memberi semangat bagi para guru untuk menjalankan profesinya.
Sosok guru kelihatan sebagai orang yang sederhana. Namun dalam melaksanakan tugasnya tidaklah sederhana, bahkan sangat berat. Tidak ada tugas seberat menjadi guru. Guru harus jadi teladan, konsekuen dengan yang diajarkannya. Tuntut menjadi seorang guru tidaklah mudah, apalagi menghadapi jaman sekarang dengan perubahannya. Sosok guru seringkali dituntut sempurna namun terkadang sekaligus dianggap rendah. Guru sering harus memperjuangkan nasibnya sendiri.
Sebagai kaum intelektual, guru harus mampu mengikut perkembangan jaman. Dengan mengikuti perkembangan jaman ini, guru bukan saja mampu menyesuaikan diri tapi guru seharusnya ikut mengadakan perubahan tersebut. Orang-orang yang yang sukses di jaman ini bukan saja orang yang mampu menghadapi perubahan tapi juga orang yang mampu membuat perubahan. Guru pada jaman demokrasi ini mampu merubah suasana dan keadaan, karena ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang. Informasi yang cepat dan keadaan yang cepat berubah. Oleh sebab itu, diharapkan guru mengembangkan sikap-sikap seorang intelektual diantaranya : terus belajar, berpikir kritis, bebas, rasional, mengembangkan angan-angan, aktif mencari, berani bertindak, bertanggung jawab dan menjadi agen perubahan. Dengan demikian guru mampu membawa siswanya ke arah masa depan yang lebih maju. Pada jaman ini sangat dibutuhkan guru yang berperan sebagai intelektual yang transformatif. guru yang mampu menggerakkan dan membantu siswa untuk melakukan perubahan dan pembaharuan demi kemajuan dan kesempurnaan terutama demi terwujudnya situasi demokratis, adil dan benar. (hlm 86).

Kamis, 04 Maret 2010

Apologetika (tinjauan buku)

Mata Kuliah : Pengantar Filsafat Kristen

Masa Kuliah : Primo 2004

Dosen : Raskita Barus, M. Th.

Tugas : Tinjauan Buku

Nama : E r l y

NIM : 02216589

Jurusan : Apologetika

INSTITUT ALKITAB TIRANUS









KEDAULATAN DAN KARYA KRISTUS

( John R.W. Stott)

I. Pokok Penting dalam buku

Dalam buku ini Stott memaparkan beberapa pokok penting, terutama sekali mengenai Kristus. Allah telah berfirman dan bertindak dalam Kristus. Ini merupakan hal yang penting karena ini membedakan agama Kristen dari agama lainnya. Semua agama di dunia ini terdiri dari peraturan-peraturan atau kumpulan-kumpulan nasihat moral, sedangkan Kristen adalah berita Injil tentang Kristus.

Yesus adalah Allah sendiri. Tentang Allah yang mencari manusia. Berbeda dengan guru-guru besar di dalam agama lain yang meniadakan diri, tetapi Yesus mengangkat diri karena Ia adalah Allah yang sebenarnya. Dalam pengakuan Yesus sendiri, murid-muridNya dan para lawanNya. Ia adalah Allah. Pembuktian lain dicatat dalam Alkitab yang dipaparkan dalam buku ini, mujizat-mujizat yang dikerjakanNya, bukti kematian dan kebangkitanNya.

Selanjutnya mengenai dosa, karena dosa adalah masalah manusia yang sebenarnya dan penyelesaiannya hanya ada dalam Kristus. Kematian Kristus menjadi tebusan dengan mana tawanan dibebaskan dan karena curahan darahNya mensahkan Perjanjian Baru antara Allah dan Manusia. Termasuk pasal-pasal pengampunan dosa, maka hal itu bukan pameran moral untuk dikagumi dan dituruti. Kematian Yesus membawa kemenangan atas maut. Yesus menantang semua manusia untuk percaya padaNya dan menyerahkan diri kepadaNya. Penting bagi orang percaya untuk mengaku Yesus dengan mulut kita di depan umum dan kita siap menyerahkan nyawa kita bagi Yesus. Semua ini demi kebaikan kita. Hal terpenting adalah ketika kita mengambil keputusan untuk menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Kemudian hidup dalam kebenaranNya. Hidup sebagai orang Kristen dengan mengikut Yesus dan menyangkali diri. Orang-orang Kristen harus sadar akan hal ini sebagai pengikut Kristus, harus tunduk kepadaNya dan siap ditolak dunia. Dalam Kristus ada kemerdekaan yang sejati. Hidup dalam Kristus memiliki hubungan pribadi yang istimewa dalam Kristus. Kita menjadi anak-anak Allah. Sekaligus memiliki tanggungjawab, yaitu terus bertumbuh dalam Kristus. Kita harus memiliki persekutuan pribadi dengan Allah, hidup berjemaat dan bersaksi kepada banyak orang.

II. Pelajaran sehubungan dengan upaya berapologetika

Stott dalam buku ini membuktikan keilahian Kristus. Stott memaparkan bukti-bukti kematian Kristus yang dapat diterima logika dan mengugurkan tuduhan bahwa Yesus hanya pingsan saja. Tentang kebangkitan Stott membuktikan kubur kosong karena Kristus bangkit. Stott membantah pendapat yang menyatakan perempuan-perempuan itu pergi ke kubur yang salah. Juga pendapat-pendapat yang menyatakan mayat Yesus dicuri. Semua itu digugurkan oleh Stott dengan memaparkan bukti-bukti bahwa Yesus benar-benar bangkit. Kubur Yesus yang ditutup batu besar dan dijaga. Para murid yang datang ke kubur Yesus dan ketidakmampuan para penguasaan Roma menunjukkan mayat Yesus. Penjelasan mengenai kain kafan secara detail dan penampakan diri Yesus kepada orang banyak , termasuk murid-muridNya. Bukti lainnya yang dipaparkan Stott adalah perubahan pada murid-muridNya. Mereka menjadi bersemangat mengikut Kristus, bahkan berani membayar seluruh harga pengiringan mereka dengan mahal. Stott menjelaskan betapa semua manusia telah gagal mencapai ukuran-ukuran moral sendiri. Pendapat Stott ini tidak dapat disangkal oleh siapapun dan oleh agama apapun.

Stott mengajak setiap pembaca buku ini untuk percaya dan menyerahkan diri kepada Kristus. Dalam hal ini dijelaskan makna kekeristenan secara mendalam membuat setiap orang menyadari akan masalah utamanya, yaitu dosa dan hidup dalam Kristus sebagai orang Kristen.

III. Tanggapan terhadap isi buku

Menurut Stott dalam berusaha mencari Allah, keragu-raguan yang timbul

karena takut ditekan oleh dasar-dasar moral merupakan hambatan. Dikatakan dalam Alkitab lawan dari kebenaran bukan “kesalahan” melainkan “kejahatan”, karena umumnya kebenaran dikaburkan oleh kejahatan-kejahatan moral (Roma 1:18). Pernyataan ini penting dan menyadarkan kita bahwa banyak manusia binasa karena tidak percaya kepada kebenaran dan suka kejahatan (2 Tes 2 :12)

Namun Stott tidak membahas sisi lain di mana banyak manusia yang bermoral tinggi, tidak mau percaya dan menyelidiki Alkitab. Seperti halnya orang-orang beragama Budha telah menyatakan bahwa manusia adalah Tuhan bagi dirinya sendiri. Mereka bukan saja berbuat baik terhadap sesama tapi terhadap semua mahkluk, terutama binatang-binatang, mereka anggap sama seperti manusia. Mereka merasa tidak perlu memcari Tuhan karena Tuhan adalah dirinya sendiri.

Saya setuju dengan Stott mengenai dosa, dimana orang Kristen dianggap terlampau banyak mempersoalkannya, karena orang Kristen realis sehingga perlu mengupas soal itu. Dosa pada kenyataannya terdapat di mana-mana. Namun dalam menyakinkan orang-orang belum percaya. Kita tidak dapat terfokus begitu saja pada masalah dosa. Segolongan orang di bumi ini, tidak peduli dengan dosa karena mereka memiliki penyelesaiannya diluar Kristus, sehingga dosa bukan masalah. Seperti pada para penganut Budha yang yakin penyelesaian dosa hanya dalam reinkarnasi. Walaupun sesungguhnya proses reinkarnasi adalah akibat dari dosa. Sayang Stott tidak membahas ini untuk menyakinkan bahwa masalah manusia yang sebenarnya adalah dosa! Betapa hebatnya akibat dosa, yaitu kematian kekal, namun dalam reinkarnasi dosa itu tidak mengakibatkan hukuman kekal tetapi bila selesai hukuman maka akan dilahirkan kembali. Pertanyaan saya, bagaimana caranya orang Kristen menjelaskan dan membuktikan kebenaran tentang dosa ?

Buku ini ditulis dengan penjelasan yang jujur, setiap pokok dibahas dengan jelas seperti halnya dosa, keselamatan melalui kematian dan kebangkitan Kristus menyadarkan orang akan ketidakberdayaan akan dosa. Makna kekristenan dibahas dalam buku ini sangat jelas dan mudah dimengerti